• Bagikan Blog Ini


    FacebookTwitterMore...

  • Site Info

    SEO Stats powered by MyPagerank.Net



  • blog-indonesia.com


    Ping your blog, website, or RSS feed for Free

  • RSS Suara Merdeka

    • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Kemboel Dewi Sri

DEWI SRI Bagi masyarakat agraris tradisional Jawa dijadikan symbol Dewi Padi. Dewi yang berhubungan erat dengan kesuburan, rejeki dan kesejahteraan. Dengan kepercayaan tersebut, pada rumah-rumah masyarakat tradisional Jawa disediakan ruang khusus untuk bersemayamnya Dewi Sri yang dinamakan Senthong.

Senthong adalah ruangan paling belakang yang terdiri dari tiga bagian yaitu : 1. Senthong kanan (patunggon) digunakan untuk kamar tidur bapak dan ibu pemilik rumah 2. Senthong kiri (lumbung) digunakan untuk menempatkan hasil bumi berupa padi dan palawija. 3. Senthong tengah atau Krobongan. Di senthong tengah ini diletakkan pasren atau pedaringan, yaitu tempat tidur lengkap yang ditata indah, dengan bahan kain bermotif cindhe. Pemilik rumah menggunakan ruangan ini untuk melakukan ritual doa, memohon kepada Tuhan agar Dewi Sri berkenan tinggal dan berbaring di pedaringan yang telah disediakan. Karena dengan bersemayamnya Dewi Sri atau Dewi Padi dipercaya bahwa keluarga yang bersangkutan senantiasa dilimpahi berkah rejeki sehingga hidupnya makmur sejahtera lahir batin. Baca lebih lanjut

Garudeyamantra (Garudamukha-Sejarah Burung Pusaka))

Gàrudeyamantra, 3-4.

"Putih warna pahanya hingga bagian pusarnya, Merah warna dadanya hingga batang lehernya"

Sejak tanggal 1 Agustus 1995 yang lalu di seluruh Indonesia dan juga pada perwakilan-perwakilan atau Kedutaan Besar R.I di seluruh dunia, bendera merah putih dan berbagai hiasan seperti ider-ider, umbul-umbul merah putih telah berkibar. Merah putih kini berkibar di seluruh pelosok desa dan kota, kantor-kantor pemer

i

ntah, swasta, balai pertemuan dan rumah-rumah penduduk. Semuanya ini dilak

akukan untuk menyambut tahun emas kemerdekaan Republik Indonesia.

Berbagai perayaan mulai digelar untuk peringatan yang ke-50 ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, warna merah putih sangat mendominasi p

erayaan 17 Agustus 1995. Merah putih sebagai bendera nasional secara resmi telah berkibar pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 50 tahun yang silam dan pastilah bendera nasional ini akan selalu dan selamanya berkibar di atas bumi persada tercinta, Nusantara.

Di samping bendera merah putih, tidak dapat dipisahkan adalah lambang negara Garuda Pancasila. Bagaimanakah burung gagah perkasa ini bisa ditetapkan sebagai lambang negara? Kiranya dalam suasana menyambut dan memeriahkan tahun emas kemerdekaan Republik Indonesia, kita telusuri kembali makna Garuda yang dikenal p

ula sebagai burung merah putih baik dalam alam pikiran prasejarah, peninggalan purbakala, dalam karya sastra maupun pandangan hidup bangsa Indonesia di masa yang silam.

Bila kita telusuri peninggalan prasejarah di Indonesia, lukisan burung garuda atau bulu burung garuda dapat ditemukan pada nekara perunggu tipe Pejeng dan cetakan batu dari desa Manuaba. Kecuali burung garuda, pada masa itu telah dikenal pula beberapa jenis burung tertentu seperti enggang dan merak yang dianggap mengandung arti magis-simbolis. Di antara berbagai lukisan burung itu, hiasan burung garuda sangat digemari.
Burung garuda adalah burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang dunia atas (Sutaba, 1

976,14, Van der Hoop, 1949:178).

Lukisan atau relief burung garuda dikenal pula pada masa prasejarah Hindia, yakni ditemukannya lukisan di Harappa (lembah sungai Sindhu) berupa gambar seekor burung garuda yang sedang membabarkan sayapnya dan kepalanya berpaling ke arah kiri. Di atas masing-masing sayapnya terdapat beberapa ekor ular. Burung elang atau garuda yang dilukiskan bersama-sama ular merupakan dasar bentuk binatang garuda yang merupakan wahana dewa Viûóu di India, dilukiskan melayang-layang mencucuk seekor ular di paruhnya (Wiryosuparto, 1956: 21).
Selanjutnya di dalam Ågveda yang meru

pakan sumber ajaran agama Hindu dilukiskan berbagai aspek keagungan Tuhan Yang Mahaesa dengan berbagai nama atau wujud seperti Agni, Yama, Varuna, Mitra dan Garutma atau garuda. Kemahakuasaan-Nya bagaikan garuda keemasan yang menurunkan hujan menganugrahkan kemakmuran (Ågveda I.164.46,47,52).

Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Nusantara, burung garuda yang terkenal dalam wiracarita Hindu ternyata me

mpengaruhi kesenian Indonesia (Stutterheim,1926:333), misalnya Baca lebih lanjut

Petruk Dan Jatidiri Bangsa

Dalam perkembangannya, tidak semua bangsa di dunia semata-mata adalah hasil perkembangan dari penduduk pribuminya. Melainkan sebagai hasil interaksi dalam jangka waktu yang lama. Seperti Jepang misalnya. Dalam, sejarah kita tentu mengenal bahwa bangsa Jepang yang ada sekarang bukanlah semata-mata lahir dari peradaban pribumi asli Jepang yaitu bangsa Ainu. Tetapi lahir dari sebuah interaksi dengan bangsa tetangganya, Cina dan Korea.

Demikian juga sang negara adidaya, Amerika Serikat, yang dengan terang menunjukkan bahwa negeri Paman Sam ini dibangun oleh para pendatang dan bukannya oleh pribumi yang notabene, sekarang ini, penduduk asli Amerika lebih merasa tertekan jika dibandingkan dengan para pendatang.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dari pelajaran yang pernah kita terima di sekolah, Indonesia yang ada sekarang ini lahir dari “hijrah”nya bangsa Tiongkok yang bermukim di Yunan ke arah selatan. Terbagi dalam dua gelombang, proto melayu dan deutero melayu.

Bangsa melayu yang menempati seluruh pojok daerah yang lantas disebut Nusantara kemudian beranak pinak, berkembang biak dan sejalan dengan teori evolusi, bercabang menjadi berbagai macam suku bangsa.

Itu saja masih belum cukup. Lagi-lagi interaksi dengan Baca lebih lanjut

Petruk Mencari Jatidiri 3 (Sinawang)

Sudah bpetruk soloerabad-abad Petruk menyaksikan perubahan jaman. Berjuta-juta tingkah-polah manusia dia saksikan. Ratusan generasi sudah dia lalui. Tetap saja dia tak bisa paham sepenuhnya bagaimana jalan fikiran makhluk yang bernama manusia.

Sebagai salah satu punakawan. Petruk sudah mengabdi kepada puluhan”ndoro” (tuan), sejak jaman Wisnu pertama kali menitis ke dunia. Hingga saat Wisnu menitis sebagai Arjuna Sasrabahu, menitis lagi sebagai Rama Wijaya, menitis lagi sebagai Sri Kresna.

Petruk hanya bisa tersenyum kadang tertawa geli, dan sesekali melancarkan nota protes akan kelakuan “ndoro-ndoro” (tuan-tuan)-nya yang sering kali tak bisa diterima nalar. Tapi ya memang hanya itu peran Petruk di mayapada ini. Dia tidak punya wewenang lebih dari itu. Meskipun sebenarnya kesaktian Petruk tidak akan mampu ditandingi oleh tuannya yang manapun juga.

 

Berbeda dengan Gareng yang meledak-ledak dalam menanggapi kegilaan mayapada, berbeda pula dengan Bagong yang sok cuek dan selalu mengabaikan tatakrama. Petruk berusaha lebih realistis dalam menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Meskipun nyeri dadanya acapkali muncul saat melihat kejadian-kejadian hasil rekayasa ndoro-ndoro nya.

Siang itu Petruk sedang membelah kayu bakar, guna keperluan memasak isterinya. Sudah seminggu lebih pasokan elpiji murah dan minyak tanah tak sampai ke desanya.

Di desa Karang Kedempel jaman kontemporer seperti Baca lebih lanjut

Petruk Mencari Jatidiri 2

Petruk Truk, Bapak hilang, Bapak hilang!!!” suara cempreng yang sangat dikenal Petruk, suara Gareng. Yang tergopoh-gopoh datang dengan nafas terengah. “Romo Semar hilang, Romo Semar hilang!!!”

Petruk tersenyum-senyum saja sambil menikmati hisapan terakhir rokok siongnya. Kemudian berdiri dan mengikat kayu bakar yang telah dibelahnya

“Hei… Romo Semar hilang! Romo Semar hilang! RomoSemar hilang!” Gareng mengulang lagi dengan nada lebih sengit. “Apa sih yang dimaui si tua udel bodong itu? Pakai acara ngilang segala. Apa dia memang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu kalau desa kita ini masih membutuhkan keberadaannya? Desa kita yang semakin rusak ini membutuhkan keprigelannya!”

Tapi Petruk memang selalu lebih cool dalam menanggapi permasalahan. Dia hanya tersenyum sambil melirik kakaknya. Kemudian malah masuk ke dalam rumah.

“Dasar Petruk Kanthong Bolong! Kamu ini memang nggak punya telinga! Nggak punya perasaan! Nggak punya keprihatinan! Romo Semar hilang! Bapak kita hilang! Dengar nggak sih kamu ini?” Atas nama segala kejengkelan, kalimat Gareng jadi berbelok memaki adiknya.

Namun Baca lebih lanjut