“BERBANGGAKAH kita bahwa kita beragama? Memang mulia bila kita menganut sebuah agama. Namun, bagaimanakah cara keberagamaan itu kita ungkap dan wujudkan? Ada banyak cara mengekspresikan keberagamaan. “Pertama, agama diwujudkan secara verbal. Dalam percakapan sehari- hari sebentar-sebentar kita menyebut nama Allah atau Tuhan. Entah berapa puluh kali nama Allah disebut dalam satu hari sekadar sebagai pemanis percakapan.
“Kedua, agama diwujudkan secara ornamental. Kemana-mana kita memakai ornamen religius seperti topi agama, baju agama, kalung agama atau lainnya. Di mobil kita pasang stiker agama. Pokoknya, dari jauh langsung sudah kelihatan bahwa kita ini beragama.
“Ketiga, agama diwujudkan secara seremonial. Berbagai kegiatan kita awali dengan sebuah seremoni atau upacara agama, baik yang singkat terdiri dari satu dua kalimat atau lebih panjang dari itu.
“Keempat, agama diwujudkan secara ritual. Hidup dijadwal dengan ritus- ritus agama. Ada ritus harian, ada ritus mingguan dan ada ritus tahunan.
“Kelirukah cara mewujudkan agama secara itu? Tidak! Samasekali tidak keliru. Namun, cobalah kita rendah itukah agama hadir dalam hidup manusia?
Patutkah kita bangga jadi orang beragama? Silakan! Namun, sungguh sayang jika keberagamaan kita cuma terungkap dangkal sebatas verbal, ornamental, seremonial dan ritual.
Seyogyanya keberagamaan terwujud secara operasional universal dalam bentuk perilaku yang luhur yang mendatangkan faedah untuk kepentingan semua orang.
RaHayu….
Filed under: Antara Agama dan Ketuhanan, Renungan | Tagged: Banggakah beragama, Beragama atau bertuhan, Budi Luhur, komoditi agama, Moralitas, Ornamen agama, Seremonial agama |
Tinggalkan komentar