• Bagikan Blog Ini


    FacebookTwitterMore...

  • Site Info

    SEO Stats powered by MyPagerank.Net



  • blog-indonesia.com


    Ping your blog, website, or RSS feed for Free

  • RSS Suara Merdeka

    • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Pelestarian bukanlah sikap antikuarianisme yang memandang masa lalu dalam tinjauan romantisme. Pelestarian mencakup pula di dalamnya transformasi dan revitalisasi

“Dengan belajar sejarah, kita jatuh cinta”

(Kuntowijoyo)
Pendahuluan
Kebudayaan atau dalam bentuknya yang lebih halus, peradaban, bergerak melebar dalam ruang dan memanjang dalam waktu. Filsuf sejarah, seperti Oswald Spengler (1880-1936) dan Arnold Toynbee (1889-1975) menggambarkan gerak peradaban itu seperti siklus. Sejarah lingkungan budaya atau peradaban berjalan melintasi suatu lingkaran, yaitu muncul, berkembang, dan mundur. Orang sering berkata, “l’histoire se repete (sejarah berulang)”. Pernyataan tersebut cenderung menyesatkan. Sebagai post eventum (sejarah sebagai peristiwa), sejarah terjadi sekali saja. Pengulangan yang dapat diamati terletak pada polanya. Karena bersifat khas (uniqueness), yang ada hanyalah kemiripan-kemiripan. Tidak pernah ada kejadian yang benar-benar sama.
Perubahan yang terjadi dalam bentuk-bentuk peradaban merupakan historical necessity (keniscayaan sejarah). Dengan kata lain, sunnatullah (hukum alam). Sesuatu yang pada mulanya dipersepsikan sebagai modern dan mutakhir pada akhirnya akan menjadi sejarah. Dalam proses-proses itu, ada yang mengalami kepunahan, dan ada pula yang mampu bertahan dengan kemampuan adaptifnya.
Kehidupan sosial manusia berporos dalam tiga dimensi waktu, yaitu masa lampau, masa kini dan masa depan. Apa yang kita pahami tentang hari ini, kesadaran diri, dan penilaian terhadap “orang lain” (the other peoples) terbentuk oleh pengalaman masa lalu (the past). Akumulasi dari pengalaman yang pernah dialami membentuk pengetahuan tentang masa lampau. Dengan demikian, sejarah dengan sendirinya menjadi barometer perubahan.
Peninggalan Sejarah sebagai Sumber Sejarah
Dalam studi ilmu sejarah, dikenal ada tiga fakta, yaitu artifact (fakta berupa benda), socifact (fakta sosial), dan mentifact (fakta mental). Artifact berkaitan dengan fakta berupa peninggalan sejarah yang bersifat fisik. “Fakta benda” dalam ilmu kebudayaan termasuk dalam kebudayaan material atau disebut juga “budaya materi”. Fakta sosial berkaitan dengan perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Fakta mental berurusan dengan nilai-nilai, mentalitas, kepercayaan, dan seterusnya.
Sumber sejarah dipandang dari segi bentuknya, terdiri atas:
1) Sumber-sumber benda atau sumber tak tertulis (unwritten sources) meliputi artefak dan benda-benda. Artefak adalah benda-benda peninggalan masa lampau seperti keramik, tembikar, lukisan tapak tangan, dan lukisan-lukisan binatang di gua-gua, keranda, manik-manik, foto, peralatan rumah tangga, dan seterusnya. Sumber-sumber benda berupa bangunan-bangunan, rumah, monumen, senjata, candi-candi, dan sebagainya.
2) Sumber-sumber tertulis (written sources), antara lain arsip, dokumen, dan surat kabar.
3) Sumber-sumber lisan (oral sources), yaitu sumber yang pemerolehannya melalui wawancara sejarah lisan dengan pelaku-pelaku sejarah.
Peninggalan sejarah yang bersifat fisik dalam perspektif legal-formal disebut sebagai “Benda Cagar Budaya”, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun terakhir. Ada pula istilah situs yang menunjuk pada pengertian yang dekat. Istilah Benda Cagar Budaya sekurang-kurangnya mulai dikenal sekitar tahun 1980-an. Pengertian “Benda Cagar Budaya”, seperti dijelaskan UU No. 5 tahun 1992 adalah sebagai berikut:
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisa yang berumur 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas serta dianggap mempunyai nilai yang penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai yang penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Sejalan dengan perkembangan zaman, peninggalan sejarah tidak semuanya sampai ke tangan generasi sekarang. Sebagian mengalami kepunahan, dan sebagian tidak tentu rimbanya, terkubur di dalam tanah, atau terbenam di lautan. Sebagian lagi yang diterima generasi kita tidak semuanya berhasil diterangkan. Sisanya masih bersifat enigmatik (teka-teki).
Pelestarian dan Kesadaran Sejarah
Pelestarian peninggalan sejarah sering dipahami secara defensif, yaitu upaya mempertahankan dan mengawetkan, dan tidak membuka peluang bagi perubahan. Seiring dengan perkembangan waktu, konsep konservasi (pelestarian) jauh lebih berkembang. Pada mulanya, pelestarian peninggalan sejarah semata-mata tertuju pada monumen, candi, dan bangunan lainnya. Sekarang, semakin meluas hingga ke kota atau pulau bersejarah.
Pelestarian bukanlah sikap antikuarianisme yang memandang masa lalu dalam tinjauan romantisme. Pelestarian mencakup pula di dalamnya transformasi dan revitalisasi.
Menurut konsep Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia, pelestarian adalah upaya pengelolaan perubahan secara selektif melalui kegiatan perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan atau pengembangan pusaka untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman, kualitas hidup yang lebih baik serta menciptakan pusaka masa datang.
Pelibatan peran serta masyarakat dalam program pelestarian warisan atau pusaka sangat penting. Masyarakat harus menjadi pusat pengelolaan perubahan. Prinsip-prinsip proses pelestarian yang harus diperhatikan, yaitu kolaborasi antar disiplin ilmu maupun sektor, mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi apresiasi dan aksi masyarakat, dukungan dan penegakan aspek legal serta pasar pelestarian yang menunjang kesinambungan pengelolaan.
Sebagai langkah awal pelestarian diperlukan suatu “bank data” yang lengkap. Oleh karena itu, inventarisasi atau pendataan yang bersifat menyeluruh terhadap peninggalan sejarah harus dilakukan. Barulah setelah itu dilakukan penelitian dan studi lainnya.
Penutup
Kita sering mendengar ucapan-ucapan yang bernada mitos bahwa, “sejak zaman purbakala, bangsa kita…” atau “dahulu, nenek moyang kita….”, dan seterusnya. Masalahnya tentu saja, manusia sudah melakukan diaspora ke banyak tempat sebelum layak disebut dalam masa sejarah. Menurut pengertian ilmu sejarah klasik, batas sejarah bermula pada saat masyarakat menghasilkan peristiwa-peristiwa khas (unik) yang berdampak panjang dan terekam secara tertulis.
Peninggalan sejarah mengajak kita untuk menghindarkan diri dari pemitosan yang tidak produktif. Wahana untuk menimba pengetahuan bagaimana dunia kehidupan (lebenwelt) bangsa Indonesia berkembang dari waktu ke waktu. Oleh karena itu tidak dapat dilihat dari aspek fisiknya saja, melainkan harus dipahami pula simbol-simbolnya. Peninggalan sejarah bukan saja “fakta benda”, tetapi juga di dalamnya terdapat “fakta sosial” dan “fakta mental”. Sebagai produk dari kebudayaan, di dalamnya terekam nilai-nilai yang akan diperjuangkan.

Peninggalan sejarah tidak lain adalah ingatan kolektif tentang perjalanan sejarah suatu komunitas atau bangsa. Dalam fase-fase perjalanan bangsa itulah terjadi serangkaian peristiwa yang jejaknya dapat kita lacak hingga generasi kita sekarang. Peninggalan sejarah merupakan warisan yang amat berharga. Namun, warisan tersebut harus diperjuangkan keberadaannya agar tidak tersia-siakan oleh perilaku vandalisme. Dengan membuka hati dan pikiran, kita akan mendapat pengalaman estetik ketika memandang keindahan peninggalan sejarah. Pengalaman itu pula yang diharapkan menumbuhkan kesadaran sejarah. Kesadaran untuk mencintai dan melestarikan peninggalan sejarah. Semoga…

 

RaHayu Nuswantara…MERDEKA !!!

Tinggalkan komentar