• Bagikan Blog Ini


    FacebookTwitterMore...

  • Site Info

    SEO Stats powered by MyPagerank.Net



  • blog-indonesia.com


    Ping your blog, website, or RSS feed for Free

  • RSS Suara Merdeka

    • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Virus Pragmatis Yang Merusak Sendi-sendi Panca Sila

Ketika kita berpegang teguh kepada sesuatu apapun itu yang kita anggap benar pada saat itulah saat yang tepat virus ini bekerja, ia akan membentuk suatu keadaan fanatisme yang berlebihan sehingga menunggalkan kebenarannya itu sendiri tanpa menghargai kebenaran yang lainnya. Dan pada saat manusia menunggalkan kebenarannya sendiri itu hanyalah sebuah kebohongan besar. Inilah suatu keadaan dimana pikiran yang tadinya merdeka menjadi budak-budak pragmatisme berpikirnya sendiri, yang akhirnya menutup pintu keilmuannya untuk hidup dalam kehidupannya. Saat inilah pikiran menjadi tidak merdeka dalam menimba ilmu karena ia sulit menerima kebenaran orang lain padahal kebenaran itu tidaklah tunggal dimata manusia. Dengan berkembangnya masyarakat maka berkembang pulalah pemikirannya menurut semakin Heterogennya masyarakat yang terbentuk.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling Heterogen di dunia, apa jadinya kalau karakteristik bangsa ini dipenuhi manusia-manusia yang berpikiran pragmatis? Terjadilah seperti keadaan sekarang ini dimana terjadi pertengkaran antar suku, ras, agama, partai dan golongan. Jika dahulu kala bangsa ini bisa bersatu itu adalah karena bangsa ini masih mempunyai jati diri sehingga tidak terpengaruh virus-virus pragmatis yang masuk dari luar. Tetapi keadaan sekarang sangatlah mudah membuat suatu perpecahan di negeri ini, sangatlah mudah pemikiran anak bangsa diputarbalikkan lalu dibenturkannya kepada anak bangsa lainnya. Inilah keadaan dimana virus Pragmatis telah menguasai pikiran pemuda-pemudi bangsa ini sehingga pemikiran yang dulunya merdeka kini telah hilang bahkan telah mengubur kembali jati dirinya sebagai bangsa yang bermartabat, telah mengubur kembali nilai-nilai nenek moyang dan The Founding Fathers bangsa ini sebagaimana yang terumus dalam sebuah falsafah hidup bangsa yaitu “Panca Sila”. Dahulu kala bangsa ini mempunyai jati diri yang berbudi luhur dari budaya turun-temurun para leluhurnya. Budaya-budaya seperti “Gotong-Royong dan Gugur Gunung”, yaitu bersatu untuk mengerjakan sesuatu yang baik secara bersama-sama dan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama. Ada pula istilah “Manyama Braya” yang merupakan budaya Bali asli yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “Saudara lain Agama”, walaupun beda agama tidak di cap buruk seperti “Kafir atau Domba Tersesat!” tetapi saling menghargai keyakinan masing-masing, saling toleransi, dan saling mencintai satu sama lainnya. Adapun Budaya Kalimantan “Paguntaka” yang berarti “Rumah kita bersama” dimana tamu asing yang datang dianggap bagian dari keluarga tanpa pandang bulu dan dilayani seperti layaknya orang yang mempunyai hubungan persaudaraan yang erat baginya. Dan banyak lagi budaya-budaya asli bangsa Indonesia yang lainnya adalah sebagai obat hati dari bangsa yang beradab dan bermartabat ini untuk kondisi bangsa sekarang yang sedang sakit akibat krisis moral ini. Suatu bangsa apapun akan mengalami suatu krisis moral jika suatu bangsa itu melupakan dua hal yaitu Budaya dan Sejarah bangsanya sendiri.

Virus pragmatislah yang membuat bangsa ini sangat mudah dipecah-belahkan untuk diadu-domba dan dibenturkan sesama saudara sebangsanya sendiri seperti yang telah terjadi pertentangan antara Soekarnois dan Soehartois, seolah-olah diisukan dan dikupas keburukan dan kelemahan dua tokoh Bangsa itu sehingga bangsa ini lupa dengan jasa-jasanya dan hanya menyimpan dendam yang sia-sia terhadap dua tokoh tersebut. Seharusnya bangsa ini menghargai jasa-jasa beliau dan menjadikan contoh yang baik bagi generasi penerus yaitu anak cucu kita agar mereka tidak tersesat seperti kita karena suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya serta menjadikan contoh perilaku yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada juga Kristenisasi dan Islamisasi, sesama umat Islam, sesama umat Kristen bahkan antara Islam dan Panca Sila, seolah-olah bangsa ini selalu bertentangan dalam masalah agama karena sesama umat beragama saling menunggalkan kebenarannya tanpa menghargai kebenaran orang lain, padahal dalam ajaran Islam ada ayat yang menyebutkan “Lakum dinukum waliadin” yang artinya untukmu agamamu, untukku agamaku, disini Islam justru menekankan untuk menghargai keyakinan umat lainnya. Dan seseungguhnya Islam tidak pernah membatasi umatnya untuk berpikir malahan di Al-qur’an terdapat banyak kata-kata yang menyuruh umat Islam untuk berpikir seperti “wahai kaum muslimin tidakkah kamu berfikir, bagi kaum yang berfikir, wahai orang yang berfikir” bahkan Allah SWT akan meninggikan derajat orang yang berilmu tentunya dengan berfikir. Jadi Islam dan Agama lainnya tidak membatasi umatnya untuk berpikir yang dibatasi adalah perilaku umatnya agar tidak merugikan dirinya dan orang lain disekitarnya.

Bangsa ini telah lupa dengan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat oleh karena perbedaanlah yang justru menyatukan bangsa ini dimana nilai-nilai luhur bangsa ini menganggap perbedaan itu adalah suatu anugerah Illahi seperti pelangi bersatunya warna pelangi yang terlihat begitu indah menghiasi ruang langit luas. Ketika dulu itu pola-pikir bangsa kita sangatlah merdeka, sangat menghargai perbedaan pendapat orang lain, sangat menghargai kebenaran orang lain. Itulah nilai-nilai yang terdapat dalam Musyawarah untuk mufakat dengan memakai azas kekeluargaan sebagai budaya asli bangsa ini. Namun hari ini bangsa ini telah lupa akan budayanya itu, pikirannya kini telah dikuasai oleh kepragmatisan dirinya yang akhirnya menimbulkan perilaku yang simplisistik instant, sebentuk perilaku yang tidak mau susah mendapatkan materi atau kekuasaan politik, maunya selalu mudah dan cepat, maka terjadilah saling ber”money politic” seperti sekarang ini dimana para calon pejabat politik tidak membina hubungan persaudaraan secara langsung kepada rakyat kecil yang akhirnya akan terjadilah pertentangan-pertentangan politik berdasarkan kepentingannya masing-masing dengan memanfaatkan rakyat kecil untuk memperoleh kekuasaan politiknya. Kini bangsa ini seperti katak dalam kotak, ketika katak dialam bebas ia bisa melompat melebihi 20 kali tubuhnya tetapi ketika di dalam kotak ia hanya bisa melompat hanya mengikuti ruang kotak itu. Jika dilepaskan ia akan mengikuti kebiasaanya melompat dalam kotak itu. Kotak pragmatis dalam pikiran bangsa inilah yang membatasi bangsa ini untuk maju dan bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya demi kemakmuran dan kebesaran bangsanya. Bung Karno pernah mengingatkan bangsa ini bahwa kebesaran dan kemakmuran suatu bangsa apapun tidaklah jatuh gratis dari langit, semua kemakmuran dan kebesaran suatu bangsa adalah sebuah proses” kristalisasi keringat” bangsa itu sendiri.

Satu Tanggapan

  1. kebenaran ibarat rasa masakan bila hanya dikasih garam maka rasanya hanya asin tapi bila dipadukan dengan yg lain maka rasanya akan lezat sesuai selera… nyam nyam betapa lezat berbagai pandangan yg penuh dengan kebenaran

Tinggalkan komentar