• Bagikan Blog Ini


    FacebookTwitterMore...

  • Site Info

    SEO Stats powered by MyPagerank.Net



  • blog-indonesia.com


    Ping your blog, website, or RSS feed for Free

  • RSS Suara Merdeka

    • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Menjadi Seorang Kejawen_ Seuntai Renungan Diri

Dari mana dendam dan amarah itu berasal? Rupanya ini terkait dengan perjalanan bathin dan transformasi diri. Ini ada kaitannya dengan tumbuhnya spirit saya sebagai orang Jawa: saya mendapat kesadaran untuk kembali pada Kejawen, kearifan lokal dari Tanah Jawa! Perjalan bathin dan transformasi diri ini ternyata bukan tanpa resiko dan kendala. Tentu saja, resiko dan kendala ini sebetulnya sekadar cermin dari kebelum-matangan saya pribadi.

Dinamika Perjalanan

Proses saya menjadi seorang Kejawen, dibarengi dengan peningkatan intensitas hubungan dengan para leluhur, baik melalui pendekatan reinkarnasi, nitis, maupun nyengkuyungi dan njangkungi. Semakin dekatnya saya dengan para leluhur, ternyata tidak hanya membuat saya sering menerima anugerah berupa kesadaran dan ilmu yang hadir tanpa proses belajar formal (di mana harus ada guru). Tapi, saya juga harus “menanggung” beban sejarah dari masa lalu. Rentang 500 tahun, ternyata belum menghilangkan kenangan pahit di masa lalu: saat terjadi transformasi budaya dan politik di Tanah Jawa dan Nusantara. Salah satu tokoh masa lalu yang jiwanya hadir kembali melalui raga ini, dahulu memang berada dalam posisi benar-benar dianiaya oleh kekuatan politik otoriter yang bertopengkan agama! Rasa sakit akibat penganiayaan itu benar-benar terasa, dan itu mengobarkan amarah, bahkan dendam. Maka, walau mengalami penghalusan, amarah dan dendam itu bisa benar-benar dilihat oleh mereka yang titis (berpandangan tajam) pada sikap, ekspresi, dan kata-kata saya.

Amarah dan dendam inilah yang menjadi sumber konflik bathin: karena sesungguhnya ia bertentangan dengan nilai-nilai yang sedang saya geluti untuk mencapai puncak perjalanan ruhani. Untuk menggapai puncak perjalanan ruhani, seseorang haruslah memiliki sikap welas asih yang utuh. Pada kenyataannya, pada kasus saya, itu belum bisa terjadi karena saya masih memendam dendam dan amarah. Maka, terjadilah konflik bathin yang menguras energi vital di dalam tubuh, bahkan merusak kesetimbangan sistem energi di dalam tubuh yang akhirnya menyebabkan penyakit fisik.

Guru saya membimbing saya untuk menyadari, bahwa dendam dan amarah ini harus diselesaikan. Cakra manggilingan memang hukum alam. Tapi kita sebagai manusia selayaknya menerapkan model perjalanan spiral di mana walau kita berputar kita tidak kembali ke titik yang sama, namun justru bergerak maju mendekati kesempurnaan. Mata rantai dendam dan amarah itu harus diputus: kewelasasihan harus dimunculkan bahkan kepada mereka yang telah berlaku aniaya kepada diri kita. Sebuah cahaya terang menyelimuti kesadaran saya. Saya tergerak untuk segera memutus mata rantai amarah dan dendam itu, lalu menancapkan kewelasasihan yang utuh, bahkan kepada mereka yang pada tataran fenomena merupakan “lawan” atau “musuh”.

Demikianlah, saat ini, saya sedang memulai proses penyembuhan diri, yang dimulai dari menyelesaikan konflik bathin, memadamkan gejolak amarah dan dendam, lalu menumbuhkan kewelasasihan, sikap memaafkan, dan kepasrahan diri yang total. Indikator keberhasilan proses ini adalah ketika tubuh ini kembali pulih.

Maka,kepada saudara-saudaraku yang telah dipanggil oleh Ibu Pertiwi untuk kembali pada ajaran leluhur, patut kiranya pengalaman saya ini menjadi sebuah bahan renungan. Kita memang tak bisa mengingkari fakta, bahwa 500 tahun yang lalu, Trowulan dihancurkan oleh pasukan Demak. Kita juga tak bisa menutupi kenyataan bahwa Ki Ageng Kebo Kenongo yang bahkan sudah melepaskan tahta adipati dan tidak menuntut tahta sebagai raja Jawa, dibunuh oleh Sunan Kudus. Kita juga tak bisa menyembunyikan sejarah dimana para praktisi kebathinan Jawa, walau mereka telah mengikrarkan diri sebagai Muslim- seperti Sunan Panggung, Sunan Geseng, coba dieksekusi dan para pengikutnya dibantai. Namun, demi pertumbuhan spiritual kita dan nasib Nusantara di masa depan, mari kita kedepankan sikap welas asih dan memaafkan. Kita buat diri kita menjadi lapang dada. Kita tutup semua masa lalu itu, kita petik pelajaran darinya tanpa memperpanjang kisah pahitnya. Kita memulai kehidupan baru, dengan sikap ngemong, sikap memaafkan dan memaklumi, baik kepada pelaku aniaya di masa lalu maupun kepada penerusnya di masa kini. Tentu saja, sikap welasasih dan memaafkan ini jangan mengaburkan pentingnya sikap tegas dan waspada.

Prinisipnya, kita lebih berfokus pada upaya-upaya yang berkontribusi langsung pada terciptanya kondisi masa depan yang terang. Kita ciptakan dunia yang terang dengan menyalakan lilin kebajikan, bukan dengan memaki kegelapan dan penyebab kegelapan itu. Setiap penyebab kegelapan sudah mendapatkan balasan tersendiri dari alam semesta; tugas kita adalah memastikan agar yang terjadi di masa depan adalah tidak banyak lagi anak Nusantara yang terjebak untuk menjadi penyebab kegelapan itu.

Memilih Kejawen = Menjadi Pejalan Ruhani

Menjadi Kejawen, sebaiknya tidak kita pahami sebagai proses berganti agama. Di mana kita hanya memindah keyakinan (tanpa diiringi oleh pertumbuhan bathin), atau berganti dari satu prasangka kepada prasangka lainnya. Tapi, menjadi Kejawen sebaiknya kita pahami sebagai proses untuk menukik pada hakikat kebenaran, memahami hakikat terdalam sebuah jalan ruhani, serta meningkatkan kesadaran dan pengenalan terhadap diri sejati kita.

Ya, menjadi Kejawen lebih baik tidak dipahami seperti kita berpindah rumah. Tapi ia adalah proses penuh kesadaran untuk memahami hakikat dari rumahyang kita huni saat ini, serta mengenali unsur-unsurnya yang paling halus. Lalu, setelah kita memahami itu semua, kita lanjutkan prosesnya dengan menciptakan sendiri rumah yang memang lebih sesuai dengan kebutuhan kita, yang sesuai dengan diri dan alam sekitar.

Rumah, bisa kita pahami sebagai sistem keyakinan dan jalan ruhani yang telah disistematisasi. Pada konteks kehidupan kita di Indonesia, rata-rata kita memang telah dimasukkan ke sebuah rumah, entah kita setuju atau tidak. Nah, persentuhan kita dengan Kejawen, semestinya dimaknai sebagai pemicu kita untuk menemukan hakikat dari rumah yang telah kita masuki itu, atau agama resmi kita itu. Demi menjaga stabilitas (saran ini terbatas bagi yang membutuhkan hal demikian), sebaiknya tak perlu kita memproklamasikan diri berpindah rumah atau berganti agama. Karena memang Kejawen bukanlah agama, jika agama kita pahami sebagai sistem keyakinan yang isinya adalah dogma dan peraturan yang bersifat eksternal. Kejawen itu adalah sikap hidup, way of life, filsafat kehidupan. Walau rumah kita lama, tapi dengan sentuhan Kejawen, kita akan menemukan nuansa yang berbeda. Rumah kita akan menjadi lebih serasi dengan alam sekitar. Hingga, pada titik tertentu, jika sudah tiba waktunya, kita mendewasakan diri dengan mengkreasi rumah versi kita sendiri, sebagai simbol kemerdekaan puncak sebagai manusia.

Nah, dalam hal menjadi Kejawen, yang terpenting kita lakukan adalah memulai proses serius untuk mentransformasi bathin kita, menciptakan hidup yang penuh kesadaran! Tujuan menjadi Kejawen adalah mencapai apa yang juga menjadi tujuan dari setiap agama: kehidupan yang bahagia, tenteram, damai secara berkekalan, tanpa dicampuri sifat lawannya. Yang membedakan Kejawen dengan agama resmi adalah soal bentuk: Kejawen adalah kreasi lokal, dan tidak mengarahkan penghayatnya pada sebuah bentuk dan ajaran yang kaku. Pada tataran substansi, Kejawen setara dengan agama apapun: ia adalah manifestasi dari Kebenaran Universal. Nah, tapi Kejawen itu fleksibel dan terbuka, sehingga membuatnya bisa menerima bentuk-bentuk dari luar, selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran universal dan kearifan lokal.

Bagaimana cara menjalani transformasi bathin ala Kejawen ini? Apapun agama – atau seperti apapun rumah Anda – pada saat ini, sebagai penghayat Kejawen, yang harus Anda lakukan adalah mengintensifkan kegiatan pasamaden (olah bathin untuk mencapai keheningan), dibarengi laku prihatin dengan lokus berbakti kepada leluhur, dan berbuat baik kepada sesama ciptaan.

Nah, indikator keberhasilan semua proses itu, salah satunya adalah mulai tumbuhnya budi pekerti luhur, dan Anda semakin mudah untuk mempraktekkan lakutama (perbuatan utama).

 

Maka, kepada saudara-saudaraku, khususnya yang baru mulai menghayati Kejawen, saya sarankan agar sejak sekarang mulai “berjuang” untuk menjadi pelayan kemanusiaan. Mulailah berpikir sebagai manusia yang hidupnya difokuskan untuk melayani sesama. Ya, praktekkanlah hamemayu hayuning bawono! Termasuk yang harus kita lakukan, adalah bagaimana kita mulai berpikir bagaimana kita bisa menciptakan kebahagiaan bagi mereka yang pernah melukai kita, menistakan kita, membuat kita menjadi tamu di rumah sendiri.

Semoga dengan demikian, hidup kita mengalami transformasi ke arah hidup yang berkualitas dan berkelimpahan. Alam ini memiliki sebuah hukum yang pasti: mereka yang berhak menerima adalah mereka yang telah memberi. Yang berhak mendapatkan kebahagiaan adalah mereka yang telah memberi kebahagiaan kepada pihak lain. Sebagai penghayat Kejawen, Anda semua bisa mencapai puncak perjalan ruhani dan bisa mengecap surga kehidupan, jika telah menjadi sosok yang konsisten berbuat baik, melayani, memberi dan membahagiakan sesama!

Salam RaHayu Nuswanta-Ra….

Mahardhika !!!

2 Tanggapan

  1. saya ada usul.!!
    Kidemas dhamardjati , saya sebagai orang jawa yg kurang tau dibab prilaku budaya adil-uhung,
    ada pun usul saya mohon agar kidemas, mempostingkan.
    1 cara untuk mipit padi/bikin sesaji dan do’anya
    2.cara sedekah bumi/ruwatan bumi/laut. Dan do’anya.
    3.cara selamatan dan sesaji membikin rumah.
    Dan masih banyak lagi yg lainnya.
    Menurut saya hal ini sangatlah penting karna hal tersebut untuk mempraktekan rasa bersukur kepada alam, leluhur dan gusti hyang widi.
    RAHAYU

  2. …….atur sembah nuwun……rahayu sakehing dumadi

Tinggalkan komentar