• Bagikan Blog Ini


    FacebookTwitterMore...

  • Site Info

    SEO Stats powered by MyPagerank.Net



  • blog-indonesia.com


    Ping your blog, website, or RSS feed for Free

  • RSS Suara Merdeka

    • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Mandala-Kendan

“Mandala Kendan”
Latar Belakang Sejarah Nagreg

“Ti Inya carek Bagawat Resi Makandria : ‘Ai(ng) dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan.’
Datang Siya ka Kendan.
Carek Sang Resi Guru:’Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?’
‘Pun sampun, aya beja kami pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwuruwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.
Carek Sang Resi Guru: ‘Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa, anaking.’
(Carita Parahyangan, Drs.Aca dan Saleh Danasasmita, 1981)


Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus dilarang atau dianggap “buyut”.
Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan Nagreg, diatas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan (± 1.727,54 ha).
Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan).
Barulah kemudian tahun ±512 M, yaitu pada masa raja Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana.
Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan karesian dibawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :

” Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan”
( carita parahyangan;Danasasmita, 1983:41 )

Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya. Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan Rabuyut Sawal ( Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja di Jawa ). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja di Kendan :

” Ndeh Nihen carita parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati, inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung ”

” ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang. Dialah yang membangun balairung besar”.
( Carita parahyangan, Atja,Danasasmita, 1983:37-38 )

Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga, dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di Kendan.
Pada masa Wretikendayun terjadi perubahan berarti dalam perkembangan sejarah Kendan, yang diakibatkan adanya pewarisan tahta Tarumanagara kepada bukan wangsa warman. Pada tahun 669 di Tarumanagara dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah dari sundapura, ibu kota Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya merubah nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Yang pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut, Wretikendayun sebagai Rajaresi Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri, dengan mendirikan Kerajaan Galuh di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan, yaitu diantara sungai Cimuntur dan Citanduy. sebuah surat dikirimkan kepada Tarusbawa yang berisi peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya “Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak berada dibawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh, karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur Citarum…hendaknya kita rukun hidup berdampingan”
Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M, berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya. Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.
Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas merubah keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa” tidak lagi sejalan dalam melindungi “kesucian” Mandala.

RaHayu…Cag

Ahuunngg….

4 Tanggapan

  1. sampurasun ,
    masih adakah peninggalannya atau tilasnya ya Lur.., di Nagrek tanjakan garut itu ya. lur.., letak persisnya mohon informasinya.. tks.
    salam Rahayu ..nun.

    • Sisi timur kab.Bandung berbatasan dengan Kab.Garut, satu wilayah konservasi bernama G.Mandalawangi yang kerap berdiri tegar dengan hutan konsevasinya di bawah pemangkuan hutan BKSDA Jawa Barat III dan sebagian pemangkuan PERUM perhutani Jawa Barat II. Meiliki keeksotikan tersendiri dengan hutan heterogen yang terdiri atas beberapa tumbuhan tropis besar;raksamala mahoni dan lain sebagainnya seperti dilain tempat hutan tropis biasanya. Kemudian dengan pohon pinus dan cemara yang bertengger kokoh dikaki Gunung ini. kecil memang wilayah ini, namun demikian punya ke kakhasan tersendiri. Mandalawangi merupakan daerah serapan yang potensial bagi wilayah Bandung timur dan Garut barat, termasuk diantaranya menjadi sumber penghidupan bagi beberapa daerah disekitarnya, kec.Cikancung, kec.Nagreg, wilayah Kab.Bandung dan Leles Kab.Garut.

  2. “Nuras” sesungguhnya erat dan tumbuh sebagai bagian dari kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang, padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.
    Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala” berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh:jala=air), sementara didalam sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala, yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan ( pendiri Galuh ) dan Darmasiksa atau Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya ( Pendiri Sunda ). Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser posisi Siwa dan Wisnu.
    Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara “Patanjala”, yang turun ke dunia untuk mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri. Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan sebagai “suami” Nyi Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi dijodohkan dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air hanya berbeda nama.
    Upacara “seren taun”, dalam versi pantun Bogor dinamakan “Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara “Kuwera” bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi “syukuran” atas keberhasilan panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera.
    Begitu pula pada upacara “Nuras” sesungguhnya adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat Patanjala ( air ) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri ( Padi ).

  3. terima kasih atas informasinnya Kidimas..
    nuwun .,
    Rahayu.

Tinggalkan komentar