• Bagikan Blog Ini


    FacebookTwitterMore...

  • Site Info

    SEO Stats powered by MyPagerank.Net



  • blog-indonesia.com


    Ping your blog, website, or RSS feed for Free

  • RSS Suara Merdeka

    • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Homoseksual, Lesbian, Atheis, Agnostik, Transgender, Mengapa Harus Dipermasalahkan dan Dimarginalkan?

Homoseksual, lesbian, kaum atheis dan agnostik adalah kaum-kaum yang tidak bisa dipungkiri masih sangat direndahkan eksistensinya. Seolah-olah mereka dianggap tidak ada hanya karena masyarakat yang membuang mereka karena ketidaksesuaian dengan yang sudah ada dalam pola umum di masyarakat. Mengapa orang-orang semacam itu harus dimarginalkan? Tidak adakah cara yang lebih abik untuk menerima mereka?

Dengan mudah kita menjauhi orang atheis hanya karena kita menganggapnya tidak ber-Tuhan. Dengan mudah pula kita menjauhi orang agnostik hanya karena ia tidak mau mengakui bahwa agama-agama yang ada adalah wahyu dari Tuhan dan karena kita tidak mau menerima pendapatnya tentang keberadaan agama yang dinilai tidak perlu. Dengan mudah kita menjauhi kaum homoseksual dan lesbian karena merasa jijik dengan mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya semua penyangkalan eksistensi mereka berawal dari kita, manusia yang menganggap dirinya normal.

Bukankah manusia dilahirkan untuk menjadi bebas? Untuk bebas memilih mana yang menjadi pilihan hidupnya yang notabene merupakan jalan terbaik bagi kehidupannya? Memang benar kata Jean-Jacques Rousseau bahwa “Man is born free, and everywhere he is in chains.” Dalam hal ini, mereka pun –kaum homoseksual, transgender, atheis, dlsb- adalah juga kaum yang dilahirkan untuk menjadi bebas hanya sayangnya kali ini rantai yang mengikat kebebasan mereka adalah opini umum masyarakat.

Sebuah kebenaran (?)

Selanjutnya, dibandingkan hanya dengan mengecam kaum-kaum yang sering dimarginalkan seperti itu, rasanya akan lebih baik jika kita bertanya kepada diri kita sendiri. Apakah dalam hidup kita sehari-hari, kita yang mengaku ber-Tuhan masih lebih baik dari mereka yang tidak ber-Tuhan? Atau, apakah kita yang beragama akan lebih baik dari mereka yang tidak beragama? Apa konsep kita tentang Tuhan merupakan sebuah konsep yang absolut mutlak kebenarannya dibandingkan dengan kelompok agnostik? Lalu, apakah selama ini pilihan hidup kita untuk bersama dengan lawan jenis itu adalah benar?

Mempertanyakan hal seperti di atas, bukan berarti penulis ingin mengajak seluruh masyarakat untuk membalikkan semua nilai-nilai yang sudah tertanam dalam pikiran kita sejak awal. Bukan berarti bahwa penulis ingin mengajak masyarakat untuk menjadi atheis, agnostik, homoseksual, transgender, dan lain sebagainya. Penulis juga tidak ingin mengatakan bahwa apa yang telah kaum yang dimarginalkan tersebut lakukan adalah benar, namun berlaku juga sebaliknya bahwa apa yang kita lakukan pun belum tentu juga benar.

Selama ini kita hanya tau bahwa percaya kepada Tuhan, menyukai sesama jenis, dan tidak mengubah kelamin, dan lain sebagainya adalah suatu hal yang benar. Diluar itu adalah kesalahan. Namun, tidak pernahkah kita berdiri pada sudut pandang mereka yang melakukan itu? Penulis berpendapat bahwa eksistensi manusia itu masing-masing adalah subjek, artinya setiap manusia berhak memiliki pandangan sendiri-sendiri tentang mana yang benar menurutnya. Oleh karena itu, kebenaran terhadap sesuatu hal adalah sesuatu yang sangat relatif, tergantung darimana kita berdiri untuk menilainya.

Lalu, apa yang selama ini dianggap masyarakat umum adalah salah? Tidak, sama sekali tidak salah. Pandangan umum yang berlaku selama ini tidak salah dan mungkin dengan dogma-dogmanya telah berhasil menjadikannya sebagai sesuatu yang benar yang diterima oleh mereka sebagai pribadi. Namun, ketika pandangan umum ini berbenturan dengan pendapat lainnya yang bertentangan dan ketika semua manusia memiliki kedudukan yang sama sebagai subjek, maka yang terjadi adalah ketidaksesuaian dalam pencapaian mana yang benar dan mana yang salah. Akhirnya, jadilah apa yang disebut sebagai opini umum.

Apakah opini itu salah? Tidak. Opini tidak pernah salah karena menyangkut pendapat pribadi seseorang mengenai suatu hal. Opini mengandung kebenaran pada pendukung-pendukung opini tersebut namun mengandung kesalahan pada penolak opini tersebut. Hanya saja, karena opini tersebut berlaku secara umum dan diterima oleh masyarakat banyak, maka seolah-olah ia memegang kebenaran itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan permasalahan kaum yang termarginalkan tadi? Hal itu adalah benar menurut pandangan mereka namun tidak menurut pandangan kita. Mereka melakukan hal tersebut karena pilihan mereka sendiri. Mereka merasa nyaman dengan sesama jenis mereka, merasa nyaman dengan perubahan kelamin pada diri mereka, dan merasa nyaman dengan tidak ber-Tuhan atau tidak beragama, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, mereka sebenarnya telah menjadi diri mereka sendiri dengan pilihan-pilihan mereka. Mereka adalah manusia bebas yang diikat oleh rantai-rantai opini umum di masyarakat sehingga mereka nampak salah, padahal sebenarnya itu adalah buah pilihan mereka sendiri.

Menjadi diri sendiri

Lalu, bagaimana dengan kita? Pertama, harus diyakinkan bahwa apa yang menjadi pilihan kita sekarang telah sesuai dengan apa yang akan menjadikan diri kita yang sebenarnya. Untuk apa kita hidup dalam sebuah kepura-puraan? Rasanya, tidak perlu untuk menipu diri sendiri. Hal tersebut hanya akan membuat hidup menjadi sangat tidak nyaman. Lagipula, kita tidak akan bisa bertahan lama dengan tipuan-tipuan kita.

Jika kita memang merasa nyaman dengan keadaan dimana kita berTuhan, kita menyukai lawan jenis dan sebagainya, maka laksanakanlah hal tersebut. Jika dengan melakukan hal tersebut kita bisa menjadi diri kita sendiri, maka sudah sepatutnya hal tersebut tidak kita balikkan nilai-nilainya sehinnga kita harus melakukan hal yang sebaliknya sebab hal itu akan membuat kita menipu siapa diri kita yang sebenarnya, bukan hanya kepada diri sendiri namun juga kepada orang lain.

Kedua, kita harus bisa menerima mereka sebagaimana mereka ingin menjadi diri mereka sendiri. Dalam hal ini, kita tidak boleh membiarkan merka harus menipu diri mereka sendiri. Biarkan mereka berjalan sebagaimana yang mereka kehendaki dan yang menurut ajaran mereka adalah benar. Yang dapat kita lakukan adalah menghargai pilihan mereka dan penulis merasa selama mereka juga tidak mengganggu privasi kita, sebagai orang yang berbeda pendapat dengan mereka, rasanya tidak perlu dipermasalahkan lebih lanjut.

Menjadi apa seseorang itu tergantung dari mana ia melihat sisi kehidupan ini. Apakah pentingnya memaksakan kehendak kepada orang lain? Selama manusia itu terlahir untuk menjadi bebas, maka selama itu pula ia bebas menentukan mana yang benar untuknya. Jika menjadi atheis, agnotis, penyuka sesama jenis adalah benar untuk mereka, maka mari kita menghargai itu sejauh jika mereka juga menghargai apa yang menjadi kebenaran bagi kita.

Satu Tanggapan

  1. nice artikel, tapi saya rada protes dikit sebenarnya…
    karena
    seolah-olah dalam artikel ini penulis menyampaikan bahwa lesbian/homoseksual/transgender adalah sama dengan agnostik/atheis….

    seolah-olah pemikiran lesbian/homoseksual/transgender adalah sama dengan pemikiran agnostik/atheis…..

    seolah-olah semua lesbian/homoseksual/transgender adalah agnostik/atheis…

    ada perbedaan yang mendasar saya rasa…

    atheis dan agnostik = adalah suatu pilihan terhadap pandangan untuk mempercayai Tuhan (dan agama) atau tidak mempercayai Tuhan (dan agama)

    lesbi/homo/transgender = adalah suatu pilihan mengenai oreintasi seksual..

    jadi tidak ada hubungannya saya rasa antara orientasi seksual dan kepercayaan dengan tuhan.
    Hanya meluruskan saja..
    Thanks.

Tinggalkan komentar