• Bagikan Blog Ini


    FacebookTwitterMore...

  • Site Info

    SEO Stats powered by MyPagerank.Net



  • blog-indonesia.com


    Ping your blog, website, or RSS feed for Free

  • RSS Suara Merdeka

    • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Sebuah Resensi Tajam Tentang Budaya

Budaya adalah kekuatan (daya) dari jiwa dan rohnya (budi) atau hasil, produk dari jiwa dan rohnya (budi). Budi (Jerman, Geist) inilah yang membedakan manusia dengan binatang, yang dengannya manusia mengatasi Alam dan menciptakan entitas-entitas baru, yang …disebut budaya (Inggris, culture). Pemaknaan budaya sebagai culture yang dilakukan Takdir merupakan reduksi makna budaya. Walaupun pada mulanya Takdir menggunakan Geist dan Buddha untuk memaknai budi, tetapi akhirnya pemaknaan itu jatuh hancur saat ia memaknai budaya sebagai culture. Jika Takdir mau konsisten, seharusnya ia memaknai budaya dengan makna yang berkaitan erat dengan budi dari Geist dan Buddha. Dalam tradisi Buddhisme, jiwa dan ruh manusia (budi) berhubungan dengan kesakralan, bukannya keprofanan, sebagaimana yang hendak diusung oleh Takdir. Takdir menggunakan konsep budi dan daya untuk menggolkan program modernisasinya yang sekuler. “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”… kebudayaan menurut hemat saya antara lain berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu, maka istilah “kebudayaan” memang suatu istilah yang amat cocok. Adapun istilah Inggerisnya berasal dari kata Latin colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture, sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merobah alam. Budaya berasal kata dari buddhi, sementara buddhi dimaknai sebagai akal. Jadi, budaya adalah keseluruhan dari hasil akal dan karyanya, yang dihasilkannya lewat proses belajar. Budaya dikaitkan erat-erat dengan pendidikan di sini: transfer sesuatu kepada generasi baru lewat proses belajar. Namun, lagi-lagi, Koentjaraningrat menghubungkan makna budaya ini dengan culture, sehingga akal manusia selalu dikait-kaitkan dengan penggunaannya untuk mengolah Alam, mengubah Alam, mengeksploitasi Alam. Untuk mengembalikan makna sakral budaya dari lingkaran makna profannya ini, kita harus merujukkannya lebih dulu pada makna sakral budi, karena makna sakral budilah yang mendasari makna sakral budaya. Makna sakral dari budi dapat ditemukan dalam tradisi sastra spiritual asli kita dengan sebutan ‘Sastra Suluk’. Dalam Serat Centhini, kita menemukan definisi budi yang sangat sakral: Wujud tanpa kahanan puniki Ing dalem kak sajati lantaran Inggih budi lantarané Sarupa wujud ing hu Pan jumeneng Muhammad latip Mustakik ing Hyang Suksma Kenyatanipun Budi wujud ing Hyang Suksma Inggih budi inggih Hyang kang Mahasuci Budi tatabonira. Budi, dalam Serat Centhini, dimaknai sebagai manifestasi Wujud Ilahi yang memperantarai WujudNya yang non-existent dengan Wujudnya yang existent. Budi adalah ‘Yang Ilahi’-sebagai-Ide, dan sebagai Budi, maka ‘Yang Ilahi’ berwujud sebagai Ide-Ide, Pengetahuan-Pengetahuan, tapi sekaligus juga ‘Yang Mengetahui’. Yang Ilahi sebagai Yang Maha Tahu masih belum memisahkan diriNya dari Pengetahuannya. Orang yang amat menyadari bahwa Budi adalah manifestasi Ilahi disebut orang Jawa ‘ahli ing budi binudi kang budiman’, ‘orang budiman’. Budi dalam pengertian sakral ini adalah serupa dengan pengertian the Intellect. Jika Budi telah dipahami dengan makna aslinya yang sakral, maka implikasinya terhadap makna Budaya sangat signifikan. Budaya, dalam makna sakralnya yang terkait dengan makna sakral Budi, berarti segala ciptaan manusia yang memanifestasikan Yang Ilahi. Budaya berarti peradaban spiritual-sakral yang memanifestasikan Sang Sakral di bumi, yang mengimanenkan Sang Transenden. Dengan makna sakral ini, nampaklah perbedaan antara makna budaya yang profan dan yang sakral. Bahwa budaya kini dimaknai dengan makna profan, mendorong kita yang sudah dari sononya berperadaban spiritual untuk ‘memungut kembali’ makna spiritualnya, sehingga makna budaya tidak direduksi dan dimanipulasi Modernisme dengan semata-mata makna profannya saja. kebudayaan menurut hemat saya antara lain berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu, maka istilah “kebudayaan” memang suatu istilah yang amat cocok. Adapun istilah Inggerisnya berasal dari kata Latin colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture… Perbedaan antara adat dan kebudayaan itu adalah soal lain, dan bersangkutan dengan konsepsi bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah: (1) wujud ideel; (2) wujud kelakuan; dan (3) wujud fisik. Adat adalah wujud ideel dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata kelakuan, karena adat itu berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah: aturan sopan santun untuk memberi selembaran uang kepada seseorang yang mengadakan pesta kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan, ialah (i) tingkat nilai budaya, (ii) tingkat norma-norma, (iii) tingkat hukum, (iv) tingkat aturan khusus. di Arab kata Adat yaitu al-`âdat, yang berarti ‘sesuatu yang dilakukan berkali-kali dan terus menerus’ atau ‘sesuatu yang selalu dilakukan kembali’. Sedangkan kata al-`âdat itu sendiri merupakan derivasi dari kata kerja `âda-ya`ûdu (pulang kembali ke tempat sebelumnya) dan dari kata benda al-`ûdu (kepulangan atau cara kuno). Kata ini dipinjam oleh masyarakat asli bersamaan dengan pengislaman mereka oleh penyebar-penyebar Islam. Ketika mazhab yurisprudensi Syafi’iyyah dianut oleh Muslim-Indonesia, maka kata al-`âdat yang semula bermakna semantik, berubah ke makna terminologis. Menurut mazhab Syafi’iyyah, ‘al-`âdat muhakkamah’ (kebiasaan setempat merupakan sumber pertimbangan hukum Islam). Jadi, sejak saat itu, seluruh kebiasaan lokal dalam pandangan hukum Islam disebut al-`âdat, yang sesuaikan penyebutannya oleh lidah masyarakat asli juga sebagai Adat. Adat sebenar adat ialah adat yang tidak berubah oleh kondisi dan situasi apapun, karena berasal dari Yang Ilahi. Sedangkan dua jenis adat yang lainnya dapat berubah, karena dibuat untuk kepentingan sementara oleh pemimpin suku atau hasil musyawarah masyarakat itu sendiri. Adat yang diadatkan, dalam perspektif masyarakat asli Riau, berarti, sebagaimana diungkap oleh peribahasa: Adat yang turun dari raja, Adat yang tumbuh dari datuk, Adat yang cucur dari penghulu, Adat yang lahir dari mufakat, Putus mufakat ia berobah. Sedangkan adat yang teradat ialah, sebagaimana diungkap pula dalam peribahasa berikut ini: Adat yang teradat Datang tidak bercerita Pergi tidak berkabar; Adat disarung tidak berjahit Adat berkelindan tidak berjahit Adat berjarum tidak berbenang Yang terbawa burung lalu Yang tumbuh tidak ditanam… Komunikasi dan penyatuan dengan Yang Sakral yang merupakan inti segala manifestasi adatlah yang menyebabkan adat jadi abadi. ‘Adat Abadi’ ini sungguh identik dengan apa yang disebut filsuf Perennialisme sebagai Philosophia Perennis (Kebijaksanaan Abadi) atau Religio Perennis (Agama Abadi) atau the Tradition (Tradisi Abadi). Adat, bersama-sama dengan seluruh tradisi spiritual-sakral yang pernah ada di dunia ini, berintikan ajaran spiritual-sakral yang serupa dan tunggal: komunikasi dan penyatuan dengan Yang Ilahi. ‘Adat Abadi’ ini bukanlah ciptaan leluhur, tapi ciptaan Leluhur Abadi kita, yang disebut dengan beribu nama (Tuhan, Lowalangi, Deus, Theo, Tiwaz, Pater, Allah, dan lain-lain) tapi merujuk pada Kenyataan Nan Tunggal. Adat Perennis senantiasa ada di manapun, kapan pun, bagaimana pun, apapun manifestasinya, sebab: …there has never been a time without God, nor a place into which He has failed to descent. His eternal power and Godhead have always been manifest in the things that are made, and the particular traditions are so many palimpsests of a script written into the substance of creation itself. It is not surprising, therefore, that we should find signs of tradition wherever and whenever we look…’

Tinggalkan komentar