• Bagikan Blog Ini


    FacebookTwitterMore...

  • Site Info

    SEO Stats powered by MyPagerank.Net



  • blog-indonesia.com


    Ping your blog, website, or RSS feed for Free

  • RSS Suara Merdeka

    • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

DALANG : Mandala Hyang

Terdapat dua versi yang mungkin saling melengkapi dari asal muasal  penamaan asal kata “wayang”,

Yang Pertama kata wayang terbentuk dari kata “YANG” yang diberi awalan “WA”, ditilik dari beberapa kata dalam bahasa jawa yang memiliki akar rumpun kata “YANG” sama seperti “layang”, “doyang”, “puyeng”, “reyong”, yang berarti : selalu bergerak, tidak tetap, samar-samar, dan sayup-sayup.

seperti asal kata “YANG” dan awalan “WA” tadi, memiliki arti tersendiri. “YANG” itu etimologinya berasal dari kata Hyang yang pada akhirnya menjadi  kata Eyang yang juga berarti kakek, nenek, atau leluhur yang telah meninggal. sedangkan “WA” sendiri berarti keturunan atau trah,

contohnya; Pandawa – berasal dari kata PANDU – WA , “PANDU” = Nama ayah Pandawa Lima, Sedangkan “WA” = Keturunan, sehingga Pandawa = Keturunan Pandu.

Kurawa yang menjadi musuh Pandawa, berasal dari kata KURU – WA , KURU = sebuah daerah bernama Tanah Kuru ( Mahabarata), “WA” = keturunan, sehingga Kurawa = Keturunan Daerah Kuru.

Yang Kedua, Wayang terbentuk dari kata “Wewa Yangan” yang artinya bayangan, hal ini tampak pula pada prasasasti yang ditemukan dalam prasasti pada Pemerintahan Prabu Airlangga, yang didalamnya terdapat kata “Mawayang”.

kesimpulan dari kedua versi tersebut WAYANG adalah sebuah bayangan dari leluhur kita yang bisa dipakai sebagai cerminan diri akan segala tindak tanduk manusia keturunan leluhurnya. bersifat samar karena di dalam dunia ini segalanya terasa samar dan tidak jelas, terkadang baik terkadang buruk berganti-ganti tanpa pemberitahuan, Hanya Gusti Pengeran, Tuhan Yang Maha Esa-lah yang pasti. sehingga manusia diharpkan selalu waspada dalam melihat dan melakukan segala perilakunya di dunia ini.

GUNUNGAN ITU?

Orang jawa beserta leluhurnya sering menyebut gunungan dengan nama “Kayon” sehingga dalam pewayangan ada istilah “Tancep Kayon” yang berarti menancapkan wayang yang berbentuk gunungan sebagai simbol perpindahan adegan.

Bila ditilik dari etimologi kata “Kayon” itu sendiri adalah berasal dari kata “Kayu” (kayu pohon), “Kayu” itu sendiri adalah dari kata “Kayat/Hayat” yang berarti hidup. berarti Kayon (gunungan) = Hidup.

Gunungan sendiri itu juga berasal dari kata Gunung tentunya, sebuah tempat yang di bumi dengan permukaan yang tinggi, sejuk, oksigen yang tipis, di lerengnya terdapat hutan belukar yang hijau dan juga diantaranya terdapat tanah-tanah yang subur yang siap ditanami.

Nah, coba tanyakan pada adik-adik yang suka naik gunung, Mapala Mungkin tentang hal ini. karena oksigen yang tipis di atas gunung maka orang akan sedikit bicara, berkurang keaktifan serta keliaran otaknya, dan kemudian inspirasi akan cepat mudah keluar dan juga orang yang ada disitu akan lebih kontemplatif (kontempaltif iku gak mesthi semedi dengan tapa!).

Para leleuhur kita memposisikan gunung sebagai tempat yang suci, sebut saja Gunung Dieng yang berasal dari kata Dhyang, dan juga Gunung Parahyangan yang berarti Gunung Para Hyang (para leluhur/dewa). makin kita naik keatas gunung makin hilang pula sifat individualistik, yang tampak akan lebih umum, jamak. tingkat kesadaran manusia akan semakin tinggi akan sesuatu disekitarnya, sehingga orang tersebut akan lebih berpikir holistik (menyeluruh).

Bangunan Candi, seperti halnya bangunan Piramid juga bermaksud menggambarkan sebuah gunung. Dari jauh Candi Borobudur nampak seperti bukit dengan sawah yang bertingkat-tingkat. Candi megah ini terletak di Pusat Pulau Jawa, dikelilingi oleh perbukitan Menoreh yang membujur dari arah Timur ke Barat dan juga oleh berbagai gunung-gunung berapi seperti Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, dan Gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah Barat. Candi Borobudur terletak di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini disebut stupa karena berhubungan dengan agama Buddha walaupun sentuhan Hindunya nampak kental sekali. Inilah budaya khas Nusantara yang menghormati semua kepercayaan yang ada.

Terdapat tiga bagian dari Candi Borobudur yang merupakan simbol Tiga Alam yaitu: Kamadhatu-Rupadhatu-Arupadhatu, alam bawah, alam tengah (antara) dan alam atas, suatu perwujudan antar hubungan mikrokosmos dan makrokosmos. Bagian kaki melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu,keinginan yang rendah, yaitu dunia manusia biasa. Bagian tengah melambangkan Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan merupakan “alam antara” yang memisahkan “alam bawah” (kamadhatu) dengan “alam atas” (arupadhatu). Bagian atas, Arupadhatu, yaitu “alam atas” atau nirwana, tempat para Buddha bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, dan tidak berrelief.

Dalam kehidupan sehari-hari bentuk gunung diwujudkan para leluhur kita dalam berbagai peralatan. Diantaranya adalah caping, topi bambu berbentuk kerucut, sehingga air hujan tidak mengganggu kepala, akan tetapi Mripat (Maripat) tetap dapat memandang dengan leluasa. Selanjutnya, atap rumah joglo, yang menunjukkan bahwa pusat bangunan dengan lantai tertinggi terlelak di pusat, dibawah puncak atap dan merupakan tempat berdoa yang paling efektif. Payung kraton bertingkat tiga juga menggambarkan tingkatan dari kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu.

Bentuk gunungan sendiri simetris dengan bagian bawah melengkung seperti masih bersifat dualistis keatas makin hilanglah sifat Dualistis, bukan malah menjadi individualis melainkan menuju ke Hyang Esa.

MAKNA SIMBOLIK

Dalam Gunungan terdapat gambaran tentang air, api, angin dan tanah. Gunungan mewakili lima unsur alam, yaitu tanah, air, api, angin dan ruang. Semua benda di alam ini merupakan kombinasi dari kelima unsur tersebut. Dalam setiap babak kehidupan mulai dari lahir sampai mati para leluhur mengingatkan perlunya kesadaan untuk memahami sangkan paraning dumadi, asal muasal kehidupan. Manusia ini asalnya Bapa Ibu — Simbah — Eyang — dari Hyang Murbeing Dumadi , Yang Maha Pemberi Kehidupan, melalui lima unsur alami dan akhirnya kembali juga kepada lima unsur alami dan bersatu dengan Yang Maha Kuasa. Itulah mengapa setiap babak selalu diawali dan diakhiri dengan dimainkannya Gunungan oleh sang Dalang. Segala sesuatu diiawali dengan kelahiran, kemudian  jagad gumelar, dunia terkembang dan diakhiri dengan jagad ginulung, dunia tergulung dan musnah. Di dunia ini tidak ada yang abadi. dan pada akhirnya setelah meninggal manusia, akan kemabali ke mula-mula

”caping, topi bambu berbentuk kerucut, sehingga air hujan tidak mengganggu kepala, akan tetapi Mripat (Maripat) tetap dapat memandang dengan leluasa.”
By: Gondhal Ghandhul

2 Tanggapan

  1. Thanks Mbak…RaHayu

Tinggalkan komentar